INDONESIA MASA KOLONIALISME

A.     Indonesia di Bawah VOC
Atas usul Johan Van Oldenbarneveld dibentuklah sebuah perusahaan yang disebut Vereemigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tanggal 20 Maret 1602 dan kemudian 1610  VOC diakui Pemerintah Nederlad sebagai pemerintahan di Ambon dan diangkatlah Gubernur Jendralnya  Pieter Both sampai 1619. Tujuan pembentukan VOC tidak lain adalah menghindarkan persaingan antar pengusaha Belanda
(intern) serta mampu menghadapi persaingan dengan bangsa lain terutama Spanyol dan Portugis sebagai musuhnya (ekstern).  Sebagai Pemerintah VOC diberi oktroi (hak-hak istimewa) sebagai berikut :
1.    Dianggap sebagai wakil pemerintah Belanda di Asia
2.    Monopoli perdagangan
3.    Mencetak dang mengedarkan uang sendiri
4.    Mengadakan perjanjian
5.    Menaklukkan perang dengan negara lain
6.    Menjalankan kekuasaan kehakiman
7.    Pemungutan pajak
8.    Memiliki angkatan perang sendiri
9.    Mengadakan pemerintahan sendiri.
         Untuk melaksanakan kekuasaannya di Indonesia  diangkatlan jabatan Gubernur Jenderal VOC antara lain: Pieter Both, merupakan Gubernur Jenderal VOC pertama yang memerintah tahun 1610-1619 di Ambon. Kemudian digantikan oleh Jan Pieterzoon Coen 1619 ) , merupakan Gubernur Jenderal kedua yang memindahkan pusat VOC dari Ambon ke Jayakarta (Batavia). Karena letaknya strategis di tengah-tengah Nusantara memudahkan pelayaran ke Belanda. Adapun cara-cara yang ditempuh pemerintah VOC dalam menjalankan roda pemerintahan  antara lain :
1. Melakukan pelayaran hongi
2. Melakukan Ekstirpasi yaitu penebangan tanaman, milik rakyat
3. Perjanjian dengan raja-raja setempat terutama yang kalah perang wajib menyerahkan hasil bumi yang dibutuhkan VOC dengan harga yang ditetapkan VOC. Penyerahan wajib disebut Verplichte Leverantien. Rakyat wajib menyerahkan hasil bumi sebagai pajak, yang disebut dengan istilah Contingenten
         Pada pertengahan abad ke 18 VOC mengalamii kemunduran karena beberapa sebab sehingga dibubarkan. 31 Desember 1799 , hal ini disebabkan hal – hal sebagai berikut :
1.  Banyak pegawai VOC yang curang dan korupsi
2. Banyak pengeluaran untuk biaya peperangan contoh perang melawan Hasanuddin dari Gowa.
3.  Banyaknya gaji yang harus dibayar karena kekuasaan yang luas membutuh kan pegawai yang banyak
4. Pembayaran Devident ( keuntungan ) bagi pemegang saham turut memberatkan setelah pemasukan VOC kekurangan
5. Bertambahnya saingan dagang di Asia terutama Inggris dan Perancis. Perubahan  politik di Belanda dengan berdirinya Republik Bataaf 1795 yang demokratis dan liberal menganjurkan perdagangan bebas.
B.               Pergantian Pemerintah dari VOC ke Hindia Belanda
            Dengan dibubarkannya VOC, Indonesia diwariskan kepada pemerintah di Negeri Belanda yg saat itu disebut Bataafsche Republik. Penguasa yang dipercaya untuk mengurus Tanah Jajahan di Asia termasuk Indonesia adalah Raad van Asiatische Besittingen en Establisement yang bertanggung jawab kepada Dewan Eksekutif Rebublik. Pada tahun 1807 Jendral H.W. Daendels diangkat menjadi Gubernur Jendral di Indonesia. Ia berusaha keras melaksanakan pemusatan kekuasaan berdasarkan pada Korps Pangreh Praja Belanda dan Bumi Putera yg berdisiplin. Menurut Daendels kekuasaan pejabat yg diwariskan VOC terlalu besar sehingga mudah untuk memperkaya diri dengan cara melakukan korupsi. Pejabat yg dinilai terlalu besar kekuasaannya antara lain adalah Gubernur Pantai Jawa Timur Laut dan Residen yang berkedudukan di Kraton Yogyakarta dan Surakarta.
Untuk melaksanakan maksudnya Daendels menghapus Gubernemen Pantai Jawa Timur Laut. Demikian puula Residen yang berkedudukan di Kerajaan Jawa yang berada di bawah Gubernur diambilalih langsung di bawah pemerintah pusat di Batavia. Daerah Jawa di luar kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dibagi menjadi sembilan daerah administratif yang disebut dengan Perfectur , yang kelak pada masa pemerintahan Raffles diubah dengan nama Karesidenan yang kemudian terkenal dengan nama Gewest . Tiap Perfectur dikuasasi oleh se orang Perfect yang berada di bawah perintah langsung pemerintah pusat di Batavia.
Apabila pada masa VOC kekuasaan pemerintah daerah diserahkan kepada para Bupati maka Daendels tidak mengikuti pola semacam ini. Daendels mengurangi banyak kekuasaan para Bupati sehingga peran Bupati itu tidak lebih dari se orang leverancier hasil bumi bagi kepentingan pemerintah Kolonial. Dengan demikian posisi Bupati diturunkan menjadi pegawai pemerintah kolonial meskipun tidak memperoleh gaji. Sebagai pegawai pemerintah Bupati ditempatkan di bawah Perfect, sedangkan gaji bawahannya masih menjadi tanggungjawab para Bupati.
Meskipun demikian Bupati masih diperlukan oleh Daendels. Dengan dipertahankannya sistem leveransi dan kontingenten peran Bupati masih sangat penting yaitu sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat. Dengan dipertahankannya penguasa pribumi sebenarnya sangat penting artinya namun Daendels tidak ingin peran penting penguasa Bumi Putera itu terlihat secara nyata. Untuk itu Daendels melakukan tindakan berupa pengapusan perbedaan yang ada antara Bupati yang berkedudukan di Priangan dengan Bupati yang berkedudukan di Pantai Jawa Timur Laut seperti pada masa VOC. Stelsel Priangan yang diciptakan VOC dipertahankan oleh Daendels maupun oleh penguasa Inggris kemudian. Stelsel Priangan yang menjiwai Sistem Tanam Paksa (STP) buatan Van den Bosch itu dipertahankan sampai tahun 1871.
Pembenahan yang dilakukan Daendels dalam penyediaan mesin birokrasi adalah memperbanyak kantor pengadilan. Tiap Perfect diangkat menjadi Ketua Land Gerecht dan Bupati menjadi Ketua Vrijde Gerecht. Land Gerecht bertugas mengadili perkara yang menyangkut orang Eropa dan golongan tertentu dari orang bumi Putera sedangkan Vrijde Gerecht mengadili perkara orang pribumi. Para Bupati juga mendapat kedudukan militer di bawah kekuasaan Perfect. Hak jabatan yang secara tradisional para Bupati yaitu turun temurun tetap dipertanahkan.
Pembenahan untuk pejabat di lingkungan lebih bawah dari Bupati ada yang diantaranya berada di bawah pemerintah Pusat. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah Pusat bukan oleh Bupati. Bupati mempunyai kewajiban menggaji pegawai yaitu para kepala Wilayah yang ada di bawah kekuasaannya. Secara tradisional Bupati memperoleh sepersepuluh dari hasil panen dan memperoleh tenaga tanpa dibayar dari penduduk yang ada diwilayah kekuasaannya. Daendels mengurangi hak Bupati untuk memperoleh sepersepuluh hasil bumi atau hak pancen dan hak memperoleh tenaga tanpa upah. Bagi petani pengurangan penyerahan pancen dan kerja wajib itu boleh jadi tidak penting namun bagi Bupati hal itu sangat penting karena menyangkut status simbol sebagai seorang penguasa tradisional.
Pembenahan yang dilakukan itu menyangkut hubungan antara Bupati dengan Pemerintah Belanda. Karena pembenahan itu tidak ada sangkut pautnya dengan perikehidupan rakyat maka rakyat pada umumnya tidak mengetahui perubahan tersebut. Daendels ternyata mengikuti kebijakan yang telah dirintis oleh VOC. Hal itu tampak jelas jika dicermati perubahan yang dia lakukan setelah pemerintahan VOC serta membandingkan dengan teori politikyang dianutnya dengan praktek yang ia lakukan.
Reformasi atau pembenahan yang dilakukan Daendels yang lain adalah misalnya ia berusaha keras memberantas kecurangan di kalangan pejabat negara. Justru langkah inilah yang membuat ia mempunyai banyak musuh dari kalangan bangsa Belanda sendiri. Disamping politik keuangannya tidak menguntungkan pemerintah beberapa tindakannya dinilai sebagai menguntungkan diri sendiri. Lawan politik Daendels yang terkenal antara lain adalah M.R.G. van Polanen dan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Jawa Timur Laut yang dilepas oleh Daendels. Untuk membersihkan dirinya dari tuduhan musuh politiknya Daendels menerbitkan buku berjudulStaat der Nederlandsch Oost-Indische bezittingen onder het bestuur van den Gouverneur Generaal H.W. Daendels pada 1814. Buku tersebut dikritik dengan tajam oleh van Polanen dan Engelhard.
Di samping itu Daendels juga tidak disukai di kalangan pejabat Bumi Putera. Para bangsawan banyak yang kecewa karena kebijakannnya yang merugikan mereka. Pada 1810 Kaisar Napoleon mengeluarkan Dekrit yang menyatakan Negeri Belanda masuk ke dalam Imperium Prancis. Setahun kemudian berita itu sampai ke Indonesia dan disambut dengan senang hati olh Daendels. Karena ia yakin bahwa hal itu akan membawa perbaikan bagi Indonesia. Semua pegawai bersumpah setia kepada Kaisar Napoleon. Pada 1811 Daendels diberhentikan oleh Kaisar Napoleon. Perberhentian itu rupanya bukan karena Kaisar Napoleon yakin akan kesalahan Daendels tetapi karena desakan lawan-lawan Daendels yang sangat keras.
C.    Politik Kolonial Masa Transisi
1.                  Masa Pemerintahan Herman Willem Daendels (1808-1811)
Herman William Daendels memulai jabatan sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat dia menapak Pulau Jawa, tanggal 1 Januari 1808 dengan menumpang kapal Virginia. Perjalanan panjang ditempuh Daendels dari Eropa menuju Jawa mengingat kala itu lautan sudah dikuasai angkatan laut Kerajaan Inggris yang maha kuasa semasa Perang Napoleon berkecamuk di Eropa, Afrika dan Asia. Sejarawan Djoko Marihandono yang mengadakan penelitian tentang Daendels dan Hindia Belanda di bawah kekuasaan Prancis menjelaskan, dalam diskusi terbatas di Harian Kompas, betapa Daendels harus kucing-kucingan untuk menempuh perjalanan berbahaya dari Eropa tanggal 18 Februari 1807. Dia sempat menghadap Napoleon Bonaparte di Paris untuk menyampaikan usulan kebijakan yang akan diterapkan di Hindia Timur (Nusantara). Kala itu, Belanda yang beralih sistem menjadi Republik Bataaf (1795-1806) kemudian diduduki Prancis yang menetapkan Louis Napoleon (orang Belanda menyebut sebagai Lodewijk Napoleon-red) untuk memimpin Belanda sebagai wilayah Prancis. Daendels mendapat promosi kenaikan pangkat dari Kolonel Jenderal menjadi Marsekal, kata Djoko.Daendels memiliki kewenangan luas yakni dari Tanjung Harapan di Afrika Selatan hingga ke Hindia Timur (Nusantara-red ). Namun, pada kenyataan, kala itu-tahun 1808- kekuasaan Napoleon di Afrika Selatan dan Nusantara hanya tersisa di Pulau Jawa.Perjalanan Daendels memakan waktu 10 bulan. Dia pergi ke pelabuhan Bordeaux, tetapi laut sudah diblokade Inggris sehingga harus mencari alternatif ke Lisabon di Portugal. Lagi-lagi dia menghadapi kondisi serupa yakni blokade laut Inggris.Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Jalan Pos Jalan Daendels, betapa Daendels harus menyaru dan memalsukan identitas agar dapat meloloskan diri dari Eropa menuju Jawa.Akhirnya Daendels meninggalkan Portugal dan tiba di Maroko. Ketika itu, Maroko baru saja menyetujui perjanjian damai dengan Eropa untuk mengakhiri perdagangan budak bangsa Eropa (Giles Milton, White Gold). Salah satu panglima angkatan laut Inggris yang memaksa penguasa Maroko dan Aljazair mengakhiri perbudakan bangsa kulit putih adalah Laksamana Thomas Pellew yang juga pernah memblokade Batavia dan membombardir Pulau Onrust (catatan dalam White Gold dan pameran VOC di Erasmus Huis, 2008).Di Maroko, Daendels sempat dirampok bajak laut sehingga kehilangan semua dokumen. Dia meloloskan diri ke Kepulauan Kanari di lepas pantai barat Afrika-kini wilayah Spanyol-untuk mencari kapal ke Asia. Djoko mencatat, di Pulau Kanari, Daendels berhasil menyewa kapal Amerika, Virginia yang mengantarnya menyelinap ke Pulau Jawa.
2.      Masa Pemerintahan Raffles ( 1811-1816)
a.      Biografi Raffles
            Thomas Stamford Raffles adalah seorang yang kurang mempunyai karakter hebat, tapi cukup bijaksana untuk lebih memelih reputasi dalam sejarah daripada penghasilan material sesaat (Vlekke, 2008). Bernama lengkap Thomas Stamford Bringley Raffles ini lahir 6 Juli 1781 berkewarganegaraan Inggris. Ia adalah seorang Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang terbesar. Ia juga dikatakan pendiri kota dan Negara kota Singapura. Ayahnya adalah seorang kapten bernama Benjamin Raffles dan Ibunya adalah Anne Lyde Linderman, namun akibat terhimpit krisis ekonomi dan terjerat kasus dalam perdagangan budak di kepulauan Karibia mengakibatkan ayahnya meninggal saat Raffles berusia 15 tahun. Saat itu juga ia mulai bekerja sebagai pegawai di London untuk perusahan Hindia Timur Britania yang banyak berperan dalam penaklukan Inggris di luar Negeri (id.wikipedia.org) dan diangkat ke posisi agen perusahaan di Pulau Penang pada 1805. Di sini dia memulai studinya atas bahasa, adat istiadat, dan sejarah Melayu. Bermula menjadi palayan humaniter utama kemudian menciptakan lewat tulisannya, suatu legenda histori mengenai administrasinya di Jawa dan akhirnya dengan suatu kebijakan ekspansi yang berani sehingga membuat dia mencapai keberhasilan terbesarnya yaitu pendirian Singapura.
Dia menulis begitu baik dalam bentuk yang sangat menarik, sehingga selama seabad setelah kematiannya orang menilai Raffles lebih berdasarkan kata-katanya dari pada perbuatannya. Dari sinilah ia dinilai lebih unggul dari pada para pendahulu-pendahulunya dalam administrasi kolonial. Dari gabungan ambisi membara dan kecerdasan brilian tersebut, membuat Raffles orang yang tepat untuk menjalankan rencana Lord Minto untuk Indonesia. Kala waktu itu untuk menyerang dan menghancurkan kekuatan Belanda di Indonesia (Vlekke, 2008).
Keberhasilan Inggris dalam ekspansinya ini membawa nama Raffles menjadi semakin dikenal dan yang tidak kalah pentingnya adalah melejitnya karir Raffles yang semakin tinggi di usianya yang masih muda. Itu disebabkan karena pemerintah Inggris mempercayakan semua kendali di nusantara kepadanya. Sehingga di tunjuklah Raffles sebagai Letnan Gubernur oleh Lord Minto sebelum kembali ke Kalkuta (Vlekke, 2008). Dia menjadi Jenderal Gubernur di Jawa pada tahun 1811-1816. Selama di Jawa dalam menjalankan tugasnya, nampaknya Raffles juga memiliki keterkaitan erat dengan orang Jawa, bahkan ia lebih suka dengan orang Jawa dari pada dengan orang Belanda. Sebab orang Jawa tidak memiliki sifat amuk (chaos). Selain itu Raffles juga menyimpan besar perhatiannya pada budaya dan sastra Jawa, karena ketertarikanya tersebut ia mengembangkan Museum Ethnografi Batavia, yang sampai saat ini masih berdiri megah. Sebelumnya Belanda telah mendirikan lembaga kebudayaan yang bernama Koninklijk Bataviaasch Genootschap. Lembaga ini yang memelopori pendirian Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (1778) dan Museum Gajah (1862) yang kesemuanya berada di Jakarta. Pada 1814, Thomas Stamford Raffles mendengar berita adanya penemuan benda purbakala di sekitar Magelang, Jawa Tengah. Raffles kemudian mengutus H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan berupa bukit yang dipenuhi semak belukar. Ia memerintahkan agar “bukit ilalang” itu dibersihkan, sehingga tampaklah sebuah candi raksasa yang dipenuhi patung Buddha Mahayana. orang. Raffles juga bercerita tentang keberadaan Candi Penataran yang berlokasi di sebelah utara Blitar (Jawa Timur). Raffles menemukan candi ini pada 1815 bersama seorang naturalis dan ahli kedokteran berkebangsaan Amerika, ialah Thomas Walker Horsfield. Raffles kembali ke London (1815) karena mengidap penyakit tropis yang cukup parah, serta kesedihannya yang sangat dalam atas meninggalnya istrinya pada 26 November 1814 karena penyakit malaria (Raffles, 2008) dan dimakamkan di Batavia tepatnya yang sekarang menjadi Museum Prasasti. Di kebun raya Bogor juga dibangun monument peringatan untuk mengenang kematian sang isteri (id.wikipedia.org).
Pada tahun 1818, Thomas Stamford Raffles kembali ke timur dan di promosikan menjadi gubernur Bengkulu. Disana banyak yang telah dilakukan yaitu mengagas proyek benama Singapore, mendirikan benteng, dan Ia juga dikenal sebagai pecinta lingkungan yang penuh gairah di bidang boilogi. Banyak sederetan nama binatang dan tumbuhan telah dinamai dengan menggunakan namanya (Raffles, 2008). Salah satu tumbuhan yang paling terkenal adalah benama Rafflesia Arnoldii, sejenis tumbuhan parasit di pohon Palem, merupakan hasil penemuan Raffles di sekitar Bengkulu (Sumatra). Tanaman ini merupakan endemic di Asia Tenggara dan memiliki kelopak bunga terbesar serta paling spektakuler di dunia. Sekembalinya ke London Thomas Stamford Raffles mendirikan London Zoo dan Zoological Society of London yang sampai saat ini masih terkenal. Ia pun menjadi presiden pertama dalam lembaga ilmiah ini. Dari sinilah Raffles menghabiskan masa hidupnya yaitu di Kota dan Negara asalnya. Seorang anak yang tengah menjelma menjadi seorang figure dan menjadi seorang tokoh cerdas, bijaksana serta peduli terhadap sesama telah menyatu semua dalam diri raffles. Menurut catatan Sophia Malkasian, mahasiswa pascasarjana pada Southeast Asia Studies Program, Ohio University, Amerika Serikat mengatakan Raffles dianggap sebagai salah seorang pelopor kajian Jawa, serta bukunya menjadi sumber gagasan Barat mengenai daerah tersebut, dan sebagai titik awal pengkajian wilayah Timur.
Perjuangan telah dilakukan demi keluarga dan negaranya mulai dari masa remaja hingga menutup mata. Banyak sumber yang mengatakan bahwa Thomas Stamford Raffles meninggal dunia sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45 (5 July 1826), atau hanya dua tahun sekembalinya dari Hindia-Timur, karena menderita apoplexy atau Stroke (Raffles, 2008). Karena pendirianya yang menentang perbudakan, keluarganya tidak diizinkan mengebumikannya di halaman gereja setempat (St.Mary’s, Hendon). Larangan ini dikeluarkan pendeta gereja itu, yang keluarganya memetik keuntungan dari perdagangan budak. Ketika gereja itu diperluas pada 1920-an, kuburannya dimasukkan ke dalam bagian bangunannya.
b.      Masa Kepemimpinan Raffles di Nusantara
Sejak tahun 1800, blokade Inggris terhadap Belanda semakin memuncak. Kedudukan-kedudukan Belanda yang ada di luar Jawa (hanya Ambon yang agak kuat) diserang Inggris. Demikianlah Ambon, Gorontalo, Banda, Ternate, praktis dapat dikuasainya. Tidak dengan Jawa, rupanya pertahanan masih kuat dan memerlukan perhitungan militer yang lebih serius. Tetapi keputusan itu belum diambil oleh pucuk pimpinan Inggris di India. Walaupun demikian, persiapan untuk menyerang Jawa telah dilakukan sejak masa-masa sebelumnya (Dekker, 1993).
Pada tahun 1808 mulai berlangsung suatu zaman baru dalam hubungan Jawa-Eropa. Negeri Belanda telah berada di bawah kekuasaan Perancis sejak tahun 1795. Sehubungan dengan sentralisasi kekuasaan yang semakin besar, maka Napoleon Bonaperte mengangkat adiknya, Louis Napoleon sebagai penguasa di negeri Belanda pada tahun 1806. Pada tahun 1808, Louis mengirim Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia untuk menjadi Gubernur jenderal (1808-1811) dan untuk memperkuat pertahanan Jawa sebagai basis melawan Inggris di Samudera Hindia. Dalam perjalanannya Daendels tidak membawa pasukan baru bersamanya bahkan memakai bendera Amerika untuk menghindari serangan atau hadangan Inggris di India. Dengan tidak adanya pasukan yang dibawa dia segera membentuk pasukan yang terdiri dari sebagian besar terdiri atas orang-orang Indonesia, berjumlah dari 4000 menjadi 18000 orang (Ricklefs, 2005).
Tekanan blockade Inggris yang berat terhadap Belanda melumpuhkan export kopi yang merupakan salah satu sumber penghasilan yang besar. Suasana ekonomi di bawah Daendels yang bersifat revolusioner dan diktaktor ini rusak. Di samping itu kebencian terhadapnya datang dari semua golongan termasuk orang-orang Eropa sendiri. Maksudnya memberantas penyelewengan dan korupsi yang menyelimuti administrasi Eropa banyak mengalami kegagalan (Ricklefs, 2005). Salah satu contoh tindakan Daendels yang hanya menghasilkan kebencian adalah sebagai berikut, seperti disebutkan di atas, bahwa Ambon masih dipertahankan oleh Belanda dalam ukuran kecil. Di sana ditempatkan seorang colonel Perancis yang bernama Filz. Akibat serangan Inggris itu Filz menyerah. Dia dibebaskan oleh Inggris dan kemudian pergi ke Batavia untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Hasilnya malahan colonel yang malang itu dimarahinya dan kemudian dijatuhi hukuman mati (dengan jalan ditembak), itu merupakan perbuatan yang tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh seorang pemimpin seperti Daendels. Adapun perlawanan diberbagai tempat terhadap Daendels yang serba keras dari bangsa Indonesia antara lain ialah Banten, Cirebon, dan Yogyakarta (Dekker, 1993).
Pada 1811, Thomas Stamford Raffles disertakan dalam rombongan ekspedisi ke tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur di bawah perintah Gubernur Jenderal (di India) Sir Gilbert Elliot Murray-Kynyn-mond atau yang lebih dikenal dengan nama Lord Minto, hingga 1817. Lord Minto menyukai Raffles karena kecerdikanya, keterampilan, dan kemampuannya dalam berbahasa Melayu, sehingga ia dikirim ke Malaka. Tidak lama setelah tiba di tanah Jawa pasca Perancis menguasai Kerajaan Belanda, Raffles mengatur ekspedisi melawan militer Belanda di Jawa. Penyerbuan itu dipimpin oleh Admiral Robert Stopford, Jenderal Watherhall, Kolonel Gillespie2 (Raffles, 2008) dan disamping itu ikut juga Jenderal Auchmuty3 dimana Kapitulasi Tuntang adalah pertanda yang secara resmi mengakhiri riwayat Belanda-Perancis di Indonesia. Berikut mengenai isi dari Kapitulasi Tuntang yang di tanda tangani oleh Auchmuty dari pihak Inggris dan Janssen dari pihak Belanda, pada tanggal 18 September 1811 :
1.      Seluruh Jawa diserahkan kepada Inggris
2.      Semua serdadu menjadi tawanan dan semua pegawai yang mau kerja sama dengan Inggris, dapat memegang jabatan terus
3.      Semua hutang-piutang pemerintah belanda yang dulu, tidak akan ditanggung oleh Inggris.
Seminggu sebelum Kapitulasi Tuntang, Raffles telah diangkat sebagai Letnan Gubernur Jenderal namun pusat kendali tetap berada di Calcuta (Dekker, 1993). Dalam hal yang seperti ini masih ada juga perbedaan dalam penilaian terhadap Belanda antara Lord Minto dengan Raffles. Munculnya dua aliran ini sangat berbeda jauh yaitu aliran Lord Minto yang bersikap lunak dan terbuka terhadap Belanda yang telah kalah dan mau mempergunakan bangunan dan tenaga mereka kembali asalkan setia kepada Inggris, dan aliran Raffles yang bersifat membenci terhadap apa saja yang berbau Belanda yang dianggapnya sebagai kolot dan kejam.
Setelah takhluknya Belanda dari tangan Inggris, kepulauan Indonesia sepenuhnya berada di bawah control perusahaan Hindia Timur Inggris dan dibagi dalam empat unit administratif yaitu pemerintahan Malaka, Bengkulu, Jawa, Maluku. Dengan perubahan administratif ini Maluku sangat beruntung karena monopoli tidak dihapus melainkan ditetapkan dengan lebih longgar, sebab Perusahaan Hindia Timur Inggris tidak mempunyai kepentingan financial untuk menjaga ketat sistem itu seperti Belanda (Vlekke, 2008). Apabila dilihat sebagai kesatuan revolusi Daendels dan Raffles sama-sama tokoh yang paling penting bagi sejarah Indonesia yaitu sebagai pencetus revolusi penjajahan, suatu kebijakan baru yang menuntut pelaksanaan kedaulatan dan kekuasaan administrasi Eropa di seluruh pemerintahan Jawa yang tujuannya memanfaatkan, memperbaharui, atau menghancurkan lembaga-lembaga asli semuanya (Rickefs, 2005). Pemerintahan langsung rakyat oleh pejabat pemerintah yang digaji harus menggantikan pemerintahan tidak langsung lewat perantara kepala-kepala daerah herediter (Vlekke, 2008).
Thomas Stamford Raffles pernah menjadi Gubernur Jenderal pada masa yang sangat singkat di Jawa yaitu mulai tahun 1811 sampai dengan 1816. Selama kepemimipinannya, Raffles mengubah sistem tanam paksa (culture stelsel) yang diberlakukan colonial Belanda, yaitu sistem kepemilikan tanah yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh tulisan awal Dirk van Hogendorp, dengan kebijakan landrente4. Prinsip yang digunakannya berdasarkan pada teori liberalisme, seperti yang dipraktikkan Inggris di India. Seperti dalam bidang perekonomian dan keuangan Raffles menetapkan bahwa :
·         semua tanah adalah milik Negara, dan rakyat sebagai pemakai (penggarap) tanah wajib membayar sewa (berupa pajak bumi) kepada pemerintah.
·         Pemimpin pribumi seperti sultan dan bupati yang tidak taat pada peraturan landrente, akan dipecat.
·         Meneruskan usaha yang dilakukan Belanda misalnya penjualan tanah kepada swasta, serta penanaman kopi, melaksanakan penanaman bebas yang melibatkan rakyat dalam perdagangan.
·         Memonopoli garam agar tidak dipermainkan dalm perdagangan karena sangat penting bagi rakyat.
·         Menghapus segala penyerahan wajib dan kerja rodi.
·         Dia juga mengubah sistem berkendara di koloni Belanda menjadi sistem berkendara seperti di Inggris yaitu memakai jalur kiri yang berlaku dan dipakai sampai saat ini (Gus Anam’s, 2010 blog)
Selain menerapkan kebijakan landrente, dalam bidang pemerintahan Thomas Stamford Raffles juga menerapkan kebijakannya melalui :
·         Membagi tanah Jawa ke dalam 16 karesidenan
·         Mengurangi jabatan bupati yang berkuasa (Raffles, 2008)
·         Mengangkat Bupati menjadi pegawai negeri yang digaji
·         Mempraktekkan sistem yuri dalam pengadialn seperti di Inggris
·         Melarang adanya perbudakan, membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor (Gus Anam’s, 2010 blog)
·         Kesultanan Banten dihapuskan, kedaulatan kesultanan Cirebon harus diserahkan kepada colonial Inggris (Raffles, 2008).
            Disamping kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan, Raffles juga seoarang sarjana yang tertarik dalam Sejarah dan keadaan alam Indonesia. Yaitu dengan membangun gedung Harmoni di jalan Majapahit Jakarta untuk lembaga pengetahuan yang berdiri sejak tahun 1778 yang bernama Bataviaasch Genootschap Pada 13 agustus 1814 diberlakukan konvensi London yang memuat bahwa seluruh wilayah yang pernah dikuasai Belanda harus dikembalikan kepada pihak Inggris tetapi tidak berlaku atas Bangka, Belitung, dan Bengkulu. Sebenarnya Raffles tidak menerima hal ini karena kekayaan Hindia-Belanda sanagat menguntungkan pihak Inggris, naumun ia terpaksa menandatanganinya yang merupakan bagian dari penyusunan kembali secara menyeluruh urusan-urusan Eropa setelah perang-perang Napoleon. Raffles akhirnya ditarik kembali ke Inggrisdan digantikan oleh John Fendall yang melaksanakan keputusan konvensi London sekaligus serah terimanya. Tahun 1818 Raffles kembali ke timur untuk Jabatan barunya yaitu menjadi Gubernur Bengkulu. Setelah setahun pemerintahannya ia menggagas proyek bernama Singapore. Proyek mercusuar ini adalah pelampiasan dari rasa kekecewaannya karena penyerahan tanah Jawa kepada Belanda. Diapun akhirnya terkenal sekali sebagai pendiri Singapura. Sebelum kepulangannya ke London, di Bengkulu Raffles mendirikan benteng Inggris paling besar kedua di Asia Pasifik, setelah benteng utamanya di India. Dari pendirian benteng yang permanen, kokoh dan multifungsi itu dapat dipastikan kalau Raffles memiliki cita-cita di kawasan ini. Karena parahnya gejolak politik yang mendera Eropa pada tahun 1823 ia terpaksa untuk meninggalkan Sumatra. Namun Raffles sempat mewujudkan obsesinya di Singapura dan dalam proyek botani dan satwa Hindia Timur, terutama di pulau Sumatra. Tonggak imperalis Inggris ini menggagas pendirian Raffles Museum di Singapura. Misinya adalah mencatat dan mendokumentasikan binatang dan tanaman khas yang terdapat di pulau Jawa dan Sumatra (Raffles, 2008). Salah satunya adalah jenis tanaman bunga sekaligus nama Raffles diabadikan sebagai nama bunga itu, yaitu Rafflesia Arnoldii (Gus Anam’s 2010 blog). Karena peran besar Raffles, di Simgapura akhirnya diabadikan dengan bentuk patung atau monumuen Raffles untuk mengenang tokoh besar itu.
            Berakhirnya pemerintahan Raffles karena kondisi eropa sudah tidak mendukung. Kedudukan Napoleon telah goyah, dan Belanda telah bangkit untuk melawan Perancis. Ujungnya terselesaikan pada 1824 yang disepakati di London. Britania berjanji tidak akan lagi campur tangan di Sumatra atau pulau-pulau lain di kepalauan Indonesia. Begitu juga orang Belanda berjanji menghormati kemerdekaan Aceh, tapi sekaligus bertekad melindungi pelayaran di sekitar ujung utara Sumatra dari perompak-perompak Aceh. Perjanjian 1824 mengakhiri kekuasaan Britania atas Bengkulu (Vlekke, 2008). Hingga akhirnya Nusantara kembali di bawah kekuasaan Belanda yang dengan sistimatik menguras serta mengkulikan penduduk Nusantara seperti yang dilakukanya sebelum Inggris datang.
D.   Politik Kolonial Konservativ: Sistem Tanam Paksa
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837), ongkos imperialisme Belanda secara semena-mena diletakkan di atas pundak Jawa-Madura melalui Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa antara 1830-1870. Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar.
            Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa. Cultuurstelsel (atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Tanam Paksa) adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
            Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
            Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
            Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
            Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. Untuk mendorong keberhasilan sistem ini di tiap wilayah desa, kepala desa juga mendapatkan komisi atau persentase dari hasil cultuurstelsel (tanam paksa) ini. Sistem ini tidak diberlakukan pada desa-desa perdikan (desa bebas pajak) karena kewajiban khusus dari kekuasaan feodal seperti mengurus makam dan memelihara pesantren.
            Beberapa perubahan sosial yang terjadi akibat sistem tanam paksa yang ditemukan oleh Onghokham (Tjondronegoro dan Wiradi (peny):1984) Edi Cahyono (1991) dan Rajagukguk (1995) adalah: Pertama, pengambil alihan tanah penduduk menjadi kepemilikan desa telah melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka. Kedua, kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk menurunkan beban kerja keluarga. Ketiga, sementara itu, secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter. Keempat, Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya. Kelima, Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri. Keenam, Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah numpang dan sikep. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel. Dengan demikian tanam paksa telah mentransformasi beberapa penduduk menjadi kuli/buruh (Prisma:1991) .
            Tanam paksa adalah era paling eksploatatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
            Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
E.   Politik Kolonial Liberal : Ekonomi Swasta
            Periode sejarah Indonesia 1870 – 1900 sering disebut sebagai masa liberalimse. Pada periode ini kaum pengusaha dan modal swasta diberikan peluang sepenuhnya untuk menanamkan modalnya dalam berbagai usaha kegiatan di Indonesia terutama dalam industri – industri perkebunan besar baik jawa maupun daerah – daerah luar jawa. Selam amsa liberalisme ini modal swasta dari Belanda dan negara – negara Eropa lainnya telah berhasil mendirikan berbagai perkebunan kopi, teh, gula dan kina yang besar di Deli, Sumatera Timur.
            Pada tahun 1870 dikeluarkan Undang – Undang Agraria, yang bertujuan untuk melindungi petani – petani Indonesia terhadap kehilangan hak milik atas tanah mereka terhadap irang – orang asing. Sejak tahun ini industri – industri perkebunan Eropa mulai masuk ke Indonesia. Terdapat perbedaan antara tanam paksa (culturestelsel) dengan industri – industri perkebunan swasta pada masa liberal yaitu terlatak pada bahwa dalam msa industri perkebunan liberal rakyat Indonesia bebas dalam menggunakan tenaganya dan tanahnya, sedang dalam tanam paksa kedua alat produksi itu dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah. Seiring berkembangnya dunia pertumbuhan industri Indonesia juga berkembang dengan adanya terussan Suez pada tahun 1869 yasng memperpendek jarak antara Eropa dengan Asia.
            Zaman liberal mengakibatkan ekonomi uang masuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia terutama Jawa. Penduduk pribumi mulai menyewakan tanah – tanahnya kepada perusahaan – perusahaan swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan – perkebunan besar. Masuknya pengaruh ekonomi Barat juga melalui impor barang – barang dari negeri Belanda. Hilangnya matapencaharian penduduk di sector tradisional mendorong lebih jauh pengaruh system ekonomi uang, karena memaksa penduduk untuk mencari pekerjaan pada perkebunan – perkebunan besar milik orang Belanda atau orang Eropa lainnya. Lapangan kerja baru yang tumbuh seiring dengan berkembangnya industri – industri perkebunan besar di Indonesia adalah perdagangan perantara.
Perkembangan Ekonomi Hindia – Belanda
Kaum liberal berharap bahwa dengan dibebaskannya kehidupan ekonomi dari segala campur tangan pemerintah serta penghapusan segala unsure paksaan dari kehidupan ekonomi akan mendorong perkembangan ekonomi Hindia Belanda. Dengan Undang – undang Agraria 1870 para pengusaha Belanda dan Eropa dapat menyewa tanah dari pemerintah atau penduduk Jawa untuk membuka perkebunan – perkebunan besar.
Setelah tahun 1885 perkembangan tanaman perdagangan mulai berjalan lamban dasn terhambat, karena jatuhnya harga – harga gula dan kopi di pasaran dunia. Dalam tahun 1891 harga tembakau turun drastis, sehingga membahayakan perkebunan – perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur. Krisis tahun 1885 mengakibatkan terjadinya reorganisasi dalam kehidupan ekonomi Hindia – Belanda. Perkebunan – perkebunan besar tidak lagi sebagai usaha milik perseorangan, tetapi direorganisasi sebagai perseroan – perseroan terbatas. Pimpinan perkebunan bukan lagi pemiliknya secara langsung, tetapi oleh seorang manager, artinya seorang pegawai yang digaji dan langsung bertanggungjawab kepada direksi perkebunan yang biasa dipilih dan diangkat oleh pemilik saham.
Merosotnya Kesejahteraan Rakyat Indonesia
Krisis perdagangan tahun 1885 juga mempersempit penghasilan penduduk jawa, baik uang berupa upah bagi pekerjaan di perkebunan – perkebunan maupun yang berupa sewa tanah. Politik kolonial baru yaitu kolonial – liberal, semakin membuat rakyat menjadi miskin. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor :
  1. Kemakmuran rakyat ditentukan oleh perbandingan antara jumlah penduduk dan faktor – faktor produksi lainnya seperti tanah dan modal.
  2. Tingkat kemajuan rakyat belum begitu tinggi, akibatnya mereka menjadi umpan kaum kapitalis. Mereka belum mengenal sarekat kerja dan koperasi untuk memperkuat kedudukan mereka.
  3. Penghasilan rakyat masih diperkecil oleh system voorschot (uang muka)
  4. Kepada rakyat Jawa dipikulkan the burden of empire (pajak /beban kerajaan). Sebagai akibat politik tidak campur tangan Belanda terhadap daerah luar jawa, pulau Jawa harus membiayai ongkos – ongkos pemerintahan gubernmen diseluruh Indonesia.
  5. Keuntungan mengalir di negeri Belanda, pemerintah juga tidak menarik pajak dari keuntungan – keuntungan yang didapat para pengusaha kapaitalis. Pemerintah menganut system pajak regresif, yang sangat memberatkan golongan berpendapatan rendah.
  6. Meskipun system tanam paksa telah dihapuskan tetapi politik batig – slot belum ditinggalkan.
  7. Krisis tahun 1885 mengakibatkan terjadinya pinciutan dalam kegiatan pengusaha – pengusaha perkebunan gula, yang berarti menurunnya upah kerja sewa tanah bagi penduduk. Krisis ini diperberat dengan timbulnya penyakit sereh pada tanaman tebu, sehingga akhirnya pulau Jawa dalam waktu lama dijauhi oleh kaum kapitalis Belanda.
F.    Masa Pendudukan Jepang
            Pendudukan Jepang di Indonesia dengan berlangsungnya perang Dunia kedua di kawasan Asia Pasifik, (1941-1945) Jepang berambisi untuk menguasai negara-negara Asia dan merebutnya dari negara-negara imperalis barat. Tujuannya selain untuk kepentingan supremasi (keunggulan dan kekuasaan) Jepang juga menjadikan daerah-daerah di asia sebagai tempat menanamkan modal, serta memasarkan hasil industrinya. Sejak awal abad 20 Jepang telah menjadi negara industri dan mulai melaksanakan imperialisme modern saat itu Jepang berhasil menduduki korea dan cina. Negara raksasa cina didudukinya pada tahun 1937.
Ketika Jepang menduduki indocina, pada juli 1941 AS tidak menyetujui tindakan tersebut. Tindakan protes AS dilakukan dengan menghentikan penjualan karet, baja lemepngan, minyak bumi dan lain-lain yang sangat dibutuhkan jepang. Jepang memutuskan untuk menyerang daerah-daerah koloni eropa di Asia Tenggara tujuannya untuk memperoleh barang-barang kebutuhan perang. Dengan itu Jepang yakin bahwa serangan tersebut menimbulkan perang dengan as. Jepang mendahului serangan terhadap pearl habour, hawaii. Pada 7-12-1941. setelah menghancurkan pearl harbour, Jepang meneruskan serangan ke filifina pada 10 Desember 1941 dan berhasil menduduki luzon dan batoon, lalu pada tanggal 16 Desember berhasil menduduki burma. Akhirnya pada 11 januari Jepang mendarat di Indonesia yaitu dirasakan kalimantan timur dan berhasil menduduki pulau kalimantan. Dari kalimantan Jepang meneruskan serangannya ke jawa sebagai pusat bertahan belanda, dan mulai menduduki daerah-daerah lainnya.
1. AWAL KEDATANGAN DAN MASA PENDUDUKAN JEPANG DI
INDONESIA
Awal kedatangan Pendudukan Jepang di Indonesia di kota Tarakan pada 10 januari 1942, selanjutnya Jepang melebarkan sayapnya hingga ke Minahasa, Balikpapan, Ambon, Pontianak, Makassar, Banjarmasin, Palembang dan Bali yang berhasil dikuasai Jepang dari kurang waktu Jan- Feb 1942, sedangkan ibukota Jakarta di duduki pada tanggal 05 Maret 1942. Tentara Belanda yang pada saat itu masih berkuasan di Indonesia ke, kesalahan menghadapi serangan tentara Jepang, dan akhirnya Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang tepatnya pada tanggal 08 Maret 1942 di Kalijati-Subang.
PEMBAGIAN 3 WILAYAH INDONESIA OLEH JEPANG
Masa pendudukan Jepang di Indonesia berbeda dengan masa penjajahan Belanda pada penjajahan Belanda pemerintah di pegang oleh pemerintah sipil sedangkan massa pendudukan Jepang di pimpin oleh militer dalam menjalankan pemerintahannya di Indonesia di bagi dalam 3 wilayah kekuasaan militer yaitu sebagai berikut :
a. Wilayah I, meliputi P. Jawa dan Madura dengan pusat komando pertahanan di Batavia dipimpin oleh ke-16 AD
b. Wilayah II, meliputi P. Sumatera dan Kepulauan di sekitarnya dengan pusat komando pertahanan di bukit tinggi dipimpin oleh tentara ke-25 AD.
c. Wilayah III, meliputi p. Kalimantan, sulawesi, sulawesi, maluku, bali dan nusa tenggara dengan pusat komando pertahanan di makasar dipimpin oleh Armada Selatan ke-2 Al di Makassar. UPAYA JEPANG YANG MELIBATKAN RAKYAT INDONESIA
Jepang yang menanamkan bangsa dan negerinya Nippon berusaha mengarahkan semua di Indonesia untuk mendukung dalam perang melawan sekutu, selain itu Jepang berupaya untuk mempertahankan wilayah Indonesia dari ancaman sekutu dengan cara melibatkan rakyat Indonesia dalam beberapa organisasi antara lain :
a. Gerakan Tiga A Dibentuk pada tanggal 29 April 1942 yang diketuai oleh Mr. Syamsudin latar belakang pendirian gerakan tiga A adalah membantu Jepang dalam menghadapi sekutu.
- Nippon Cahaya Asia
- Nippon Pelindung Asia
- Nippon Pemimpin Asia
b. Pusat Tenaga Rakyat (Putera) Dipimpin oleh empat serngkai, yakni Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, ki Hadjar Dewantara dan K.H. Mas mansur. Dibentuk pada bulan agustus 1942 dan diresmikan pada tanggal 1 Maret 1943, tujuannya untuk Jepang ialah untuk memusatkan seluruh kekuatan rakyat dalam rangka membantu usaha jepang.
c. Cholo Sangi In (Badang Pertimbangan Pusat) Dibentuk tanggal 3 september 1943, diketuai Jenderal Tojo (Perdana Menteri jepang), anggota berjumlah 43 orag, 23 orang diangkat Jepang 18 orang utusan kresidenan dan kotapraja jakarta raya, dan 2 orang utusan di Yogyakarta dan surakarta.
d. Jawa Kokokai Pada tahun 1944, panglima tentara Jepang yang menduduki jawa menyatakan berdirinya organisasi “jawa hokokai’ atau Himpunan kebaktian Jawa, sebagai organisasi resmi pemerintah. Tugas mengerahkan rakyat untuk mengumpulkan padi, permata, besi tua, pajak, dan menanam tamanan jarak sebagai bahan baku minyak pelumas untuk jepang. EKSPLOITASI SUMBER DAYA ALAM DAN TENAGA KERJA INDONESIA OLEH JEPANG Pemerintah pendudukan Jepang merupakan pemerintahan militer. Oleh karena itu, sesuai dengan keadaan perang pada saat itu, semua jenis kegiatan diarahkan untuk kepentingan perang. Pemerintah pendudukan Jepang telah melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap sumber daya alam Indonesia serta tenaga manusia yang ada demi memenangkan perang melawan sekutu.
1. Cara-cara Jepang di Indonesia mengeksploitasi sumber kekayaan alam
a. Petani harus menyerahkan hasil panen, ternak dan harta milik serta mereka yang lain kepada pendudukan Jepang untuk biaya perang asia pasifik.
b. Hasil kekayaan alam di Indonesia yang berupa hasil tambang perkebunan dan hutan di angkut ke jepang.
c. Jepang memaksa penduduk untuk menanam pohon jarak pada lahan pertanian.
2. Cara I Jepang di indonesia mengeksploitasi tenaga kerja
a. Romusha, kerja paksa tanpa upah.
b. Kinrohosi, kerja paksa tanpa upah bagi tokoh masyarakat
c. Wajib Militer
1) Seinendan (Barisan Pemuda) dibentuk tanggal 9 Maret 1943 bertugas sebagai tentara melawan sekutu.
2) Keibodan (Barisan pembantu polisi) dibentuk pada tanggal 29 April 1943 bertugas menjaga keamanan desa.
3) Fujinkai (Barisan wanita) dibentuk agustus 1943 bertugas sebagai anggota palang merah dan sebagai wanita penghibur.
4) Jawa Hokokai (Pehimpunan kebaktian Raya Jawa) dikebumikan 1 maret 1944.
5) Suishintai (Barisan Pelopor)
6) Heiho (Pembantu Prajurit Jepang)
7) Peta (Pembela Tanah Air)
PERGERAKAN MASSA DAN PERLAWANAN TERHADAP JEPANG
Ada dua strategi yang digunakan para pejuang Indonesia dalam menghadapi pemerintah penduduk Jepang, yakni :
1. Kooperatif, cara bekerja sama dengan Jepang, dengan mengikuti organisasi-organisasi Jepang. Dengan demikian mereka mendapat pelajaran militer dari organisasi-organisasi tersebut.
2. Non kooperatif penduduk strategi non kooperatif, tidak mau bekerjasama dengan Jepang mereka membentuk organisasi, antara lain :
a. Kelompok Syahrir, beranggotakan kaum terpelajar di berbagai kota.
b. Kelompok Amir Syarifudin yang antifasis dan menolak bekerja sama dengan Jepang
c. Golongan Persatuan Mahasiswa yang sebagian besar anggotanya adalah mahasiswa kedokteran
d. Kelompok Sukarni, yang anggotanya antara lain Adam Malik, Pandu Wiguna, Chaerul Saleh dan Maruto Mitimiharjo
e. Golongan Kaigun, yang anggotanya bekerja pada angkatan laut Jepang
f. Pemuda Menteng, yang bermarkas di Gedung Menteng 31 Jakarta.
Perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh rakyat Indonesia
1. Perlawanan rakyat Cot Plieng dekat Lhok Seumawe – Aceh Perlawanan ini terjadi pada tanggal 10 November 1942 Tengku Abdul Jalil.
2. Pemberontakan di Singaparna, Tasikmalaya pimpinan K.H. Zainal Mustafa, hari jum’at tanggal 25 Februari 1944.
3. Pemberontakan rakyat dibiak
4. Pemberontakan rakyat di indramayu
AKHIR KEKUASAAN JEPANG DI INDONESIA Pada akhir tahun 1944, Jepang semakin terdesak, beberapapusat pertahanan di Jepang termasuk kepulauan saipan jatuh ke tangan Amerika Serikat. Terdesaknya pasukan Jepang diberbagai front menjadi berita menggembirakan bagi bangsa Indonesia. Harapan bangsa Indonesia agar terjadi perubahan sikap terhadap penguasa Jepang ternyata terwujud. Jepang semakin terpuruk, semangat tempur tentara Jepang makin merosot dan persediaan senjata dan amunisi terus berkurang dan banyak kapal perang yang hilang, keadaan semakin diperburuk dengan perlawanan rakyat yang semakin menyala. Pada tanggal 17 Jui 1944, Jenderal Nideki Tojo diganti oleh Jenderal Koniaki Koiso. Pada tanggal 7 september 1994 jenderal koiso memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia dikemudian hari. Pada 1 Maret 1945, panglima Jepang letnan jenderal kumakici horada mengumumkan pembentukan badan penyelidikan usaha-usaha persiapan kemerdekan Indonesia (BPUPKI) Seiring berjalannya BPUPKI pada tanggal 6 Agustus 1945 kota Hirosima dibom atom oleh sekutu dan pada tanggal 7 Agustus 1945 dibubarkannya BPUPKI dan dibentuklah PPKI (Panitia persiapan kemerdekana Indonesia). PPKI yang dipimpin oleh ir. Soekarno beserta Moh. Hatta dan Dr. Rajiman Widyadiningrat berangkat ke dalat, vietnam pada 2 Agustus 1945 bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kemerdekaan Indonesia. Bersamaan dengan itu ktoa nagasaki dibom atom oleh sekutu. Akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu dan berakhirnya juga masa pendudukan Jepang di Indonesia.
DAMPAK PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA Pendudukan Jepang di Indonesia memberikan dampak positif dan dampak negatif adapun dampak tersebut adalah sebagai berikut :
1. Dampak positif
a. Rakyat Indonesia mempunyai rasa disiplin yang diterapkan Jepang
b. Rakyat Indonesia dapat berorganisasi
2. Dampak Negatif
a. Bidang sosial
- Kondisi ekonomi rakyat yang semakin menurun
- Kehidupan rakyat Indonesia di pedesaan makin parah
b. Bidang ekonomi
- Perampasan kekayaan rakyat
- Produksi pertanian makin menurun
- Sandang pangan sulit didapatkan
c. Bidang Politik
Tokoh-tokoh pergerakan nasional ditindas karena tidak mau bekerja sama dengan jepang
G.  Reaksi-Reaksi Bangsa Indonesia Terhadap Kolonialisme
1.                  Perlawanan Rakyat Maluku di Bawah Ahmad Matullesi (1817)
Sejak abad ke-17 perlawanan rakyat Maluku terhadap Kompeni sudah terjadi, namun perlawanan yang dahsyat baru muncul pada permulaan abad ke-19, di bawah pimpinan Ahmad Matulessi (lebih dikenal dengan nama Pattimura). Latar belakang timbulnya perlawanan Pattimura, di samping adanya tekanan-tekanan yang berat di bidang ekonomi sejak kekuasaan VOC juga dikarenakan hal sebagai berikut.
a. , yakni adanya tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang memperberat kehidupan rakyat, seperti system penyerahan secara paksa, kewajiban kerja blandong, penyerahan atap dan gaba-gaba, penyerahan ikan asin, dendeng dan kopi. Selain itu, beredarnya uang kertas yang menyebabkan rakyat Maluku tidak dapat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari karena belum terbiasa.
b. , yaitu adanya pemecatan guru-guru sekolah akibat pengurangan sekolah dan gereja, serta pengiriman orang-orang Maluku untuk dinas militer ke Batavia. Hal-hal tersebut di atas merupakan tindakan penindasan pemerintah Belanda terhadap rakyat Maluku. Oleh karena itu, rakyat Maluku bangkit dan berjuang melawan imperialisme Belanda. Aksi perlawanan meletus pada tanggal 15 Mei 1817 dengan menyerang Benteng Duurstede di Saparua. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya Benteng Duurstede jatuh ke tangan rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura. Banyak korban di pihak Belanda termasuk Residen Belanda, Van den Berg ikut terbunuh dalam pertempuran.
Kemenangan atas pemerintah kolonial Belanda memperbesar semangat perlawanan rakyat sehingga perlawanan meluas ke Ambon, Seram dan pulau-pulau lain. Di Hitu perlawanan rakyat muncul pada permulaan bulan Juni 1817 di bawah pimpinan Ulupaha. Rakyat Haruku di bawah pimpinan Kapten Lucas Selano, Aron dan Patti Saba. Situasi pertempuran berbalik setelah datangnya bala bantuan dari Batavia di bawah pimpinan Buyskes. Pasukan Belanda terus mengadakan penggempuran dan berhasil menguasai kembali daerah-daerah Maluku. Perlawanan semakin mereda setelah banyak para pemimpin tertawan, seperti Thomas Matulessi (Pattimura), Anthonie Rhebok, Thomas Pattiweal, Lucas Latumahina, dan Johanes Matulessi. Dalam perlawanan ini juga muncul tokoh wanita yakni Christina Martha Tiahahu. Sebagai pahlawan rakyat yang tertindas oleh penjajah. Tepat pada tanggal 16 Desember 1817, Thomas Matulessi dan kawan-kawan seperjuangannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan.
2.Perlawanan Kaum Paderi (1821–1838 )
Perang Paderi melawan Belanda berlangsung 1821–1838, tetapi gerakan Paderi sendiri sudah ada sejak awal abad ke-19. Di lihat dari sasarannya, gerakan Paderi dapat dibagi menjadi dua periode.
a. Periode 1803–1821 adalah masa perang Paderi melawan Adat dengan corak keagamaan. b. Periode 1821–1838 adalah masa perang Paderi melawan Belanda dengan corak keaga-
maan dan patriotisme.
Sejak tahun 1821 saat kembalinya tiga orang haji dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang, gerakan Paderi melawan kaum Adat dimulai. Kaum Paderi berkeinginan memperbaiki masyarakat Minangkabau dengan mengembalikan kehidupannya yang sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Padahal kaum Adat justru ingin melestarikan adat istiadat warisan leluhur mereka. Adat yang selama itu dianut dan yang menjadi sasaran gerakan Paderi adalah kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti menyabung ayam, berjudi, madat, dan minum-minuman keras. Terjadilan perbenturan antara kaum Adat dengan kaum Paderi. Kaum Adat yang merasa terdesak, kemudian minta bantuan kepada pihak ketiga, yang semula Inggris kemudian digantikan oleh Belanda (berdasarkan Konvensi London).
Perang Paderi melawan Belanda meletus ketika Belanda mengerahkan pasukannya menduduki Semawang pada tanggal 18 Februari 1821. Masa Perang Paderi melawan Belanda dapat dibagi menjadi tiga periode.
a. Periode 1821–1825, ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh daerah Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, kaum Paderi menggempur pos-pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan tempat-tempat lain. Pertempuran menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Tuanku Pasaman kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau. Sebaliknya, Belanda yang telah berhasil menguasai Lembah Tanah Datar, kemudian mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar (Fort Van den Capellen).
b. Periode 1825–1830, ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum Paderi perlu menyusun kekuatan, sedangkan pihak Belanda baru memusatkan perhatiannya menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa.
c. Periode 1830–1838, ditandai dengan perlawanan di kedua belah yang makin menghebat. Pemimpin di pihak Belanda, antara lain Letkol A.F. Raaff, Kolonel de Stuer, Mac. Gillavry dan Elout, sedangkan di pihak Paderi ialah Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku nan Gapuk, Tuanku Hitam, Tuanku Nan Cerdik dan Tuanku Tambusi. Pada tahun 1833, Belanda mengeluarkan Pelakat Panjang yang isinya, antara lain sebagai berikut.
a.Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak yang berat dan kerja rodi. b.Belanda akan bertindak sebagai penengah jika terjadi perselisihan antar penduduk.
c.Penduduk boleh mengatur pemerintahan sendiri.
d.Hubungan dagang hanya diperbolehkan dengan Belanda.
Belanda menjalankan siasat pengepungan mulai masuk tahun 1837 terhadap Benteng Bonjol. Akhirnya, Benteng Bonjol berhasil dilumpuhkan oleh Belanda. Selanjutnya, Belanda mengajak berunding kaum Paderi yang berujung pada penangkapan Tuanku Imam Bonjol (25 Oktober 1837). Setelah ditahan, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, dipindahkan ke Ambon (1839), dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado hingga wafat tanggal 6 November 1864.Perlawanan kaum Paderi kemudian dilanjutkan oleh Tuanku Tambusi. Setelah Imam Bonjol tertangkap, akhirnya seluruh Sumatra Barat jatuh ke tangan Belanda. Itu berarti seluruh perlawanan dari kaum Paderi berhasil dipatahkan oleh Belanda. 3.Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825–1830)
Pengaruh Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah kuat pada permulaan abad ke-19. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menimbulkan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menimbulkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara lain sebagai berikut.
a.Adanya kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap tindakan Belanda yang makin intensif mencampuri urusan keraton melalui Patih Danurejo (kaki tangan Belanda). b.Adanya kebencian rakyat pada umumnya dan para petani khususnya akibat tekanan pajak yang sangat memberatkan.
c.Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak-haknya banyak yang dikurangi. d.Sebagai sebab khususnya ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Pertempuran perrtama meletus pada tanggal 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah pertempuran di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke Dekso. Di daerah Plered, pasukan Diponegoro dipimpin oleh Kertapengalasan yang memiliki kemampuan yang cukup kuat. Kabar mengenai pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke berbagai daerah. Dengan dikumandangkannya perang sabil, di Surakarta oleh Kiai Mojo, di Kedu oleh Kiai Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain maka pada pertempuran-pertempuran tahun 1825–1826 pasukan Belanda banyak terpukul dan terdesak. Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda menggunakan usaha dan tipu daya untuk mematahkan perlawanan, antara lain sebagai berikut.
a.Siasat benteng stelsel, yang dilakukan oleh Jenderal de Kock mulai tahun 1827. b.Siasat bujukan agar perlawanan menjadi reda.
c.Siasat pemberian hadiah sebesar 20.000,- ringgit kepada siapa saja yang dapat menang-
kap Pangeran Diponegoro.
d. Siasat tipu muslihat, yaitu ajakan berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya ditangkap.
Dengan berbagai tipu daya, akhirnya satu per satu pemimpin perlawanan tertangkap dan menyerah, antara lain Pangeran Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap 19 Januari 1827), Pangeran Serang, dan Notoprodjo (menyerah 21 Juni 1827, Pangeran Mangkubumi (menyerah 27 September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah tanggal 24 Oktober 1829). Kesemuanya itu merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran Diponegoro. Melihat situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perang secara cepat. Jenderal de Kock melakukan tipu muslihat dengan mengajak berunding Pangeran Diponegoro. De Kock berjanji apabila perundingan gagal maka Diponegoro diperbolehkan kembali ke pertahanan. Atas dasar janji tersebut, Diponegoro mau berunding di rumah Residen Kedu, Magelang pada tanggal 28 Maret 1830. Namun, De Kock ingkar janji sehingga Pangeran Diponegoro ditangkap ketika perundingan mengalami kegagalan. Pangeran Diponegoro kemudian di bawa ke Batavia, dipindahkan ke Menado, dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855.
4. Perlawanan di Kalimantan Selatan (1859–1905)
Di Kalimantan Selatan, Belanda telah lama melakukan campur tangan dalam urusan Istana Banjar. Puncak kebencian terhadap Belanda dan akhirnya meletus menjadi perlawanan, ketika terjadi kericuan pergantian takhta Kerajaan Banjar setelah wafatnya Sultan Adam tahun 1857. Dalam hal ini Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar.
Rakyat tidak mau menerima sebab Pangeran Hidayat yang lebih berhak dan lebih disenangi rakyat. Pertempuran rakyat Banjar melawan Belanda berkobar pada tahun 1859 di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Dalam pertempuran ini Pangeran Hidayat berada di pihak rakyat. Tokoh-tokoh lain dalam pertempuran ini, antara lain Kiai Demang Leman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, Tumenggung Suropati, dan Kiai Langlang. Pasukan Antasari menyerbu pos-pos Belanda yang ada di Martapura dan Pangron pada akhir April 1859. Di bawah pimpinan Kiai Demang Leman dan Haji Buyasin pada bulan Agustus 1859 pasukan Banjar berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio. Ketika pertempuran sedang berlangsung, Belanda memecat Pangeran Hidayat sebagai mangkubumi karena menolak untuk menghentikan perlawanan.
Pada tanggal 11 Juni 1860 jabatan sultan kosong (karena Sultan Tamjidillah diturunkan dari takhtanya oleh pihak Belanda, Andresen) dan jabatan mang-kubumi dihapuskan. Dengan demikian, Kerajaan Banjar dihapuskan dan dimasukkan dalam wilayah kekuasaan Belanda. Pertempuran terus meluas ke berbagai daerah, seperti Tanah Laut, Barito, Hulu Sungai Kapuas, dan Kahayan. Dalam menghadapi serangan-serangan ini, Belanda mengalami kesulitan, namun setelah mendapatkan bantuan dari luar akhirnya Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat. Pada tanggal 3 Februari 1862, Pangeran Hidayat tertangkap dan dibuang ke Jawa. Pangeran Antasari yang pada tanggal 14 Maret 1862 diangkat oleh rakyat sebagai pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifahtul Mukminin gugur dalam pertempuran di Hulu Teweh pada tanggal 11 Oktober 1862. Sepeninggal Pangeran Antasari, perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan oleh teman-teman seperjuangan. Perlawanan rakyat benar-benar dapat dikatakan padam setelah gugurnya Gusti Matseman tahun 1905.
sumber : http://lindalinda188.wordpress.com/sejarah/indonesia-masa-kolonialisme/